Makvee Story

Travel Enthusiast, Hotel Reviewer, and Food Lovers

  • Home
  • Travel
  • Kuliner
  • Hotel
  • Lifestyle
  • Contact Us

Biasanya kalau saya bikin review, topiknya hotel. Tapi kali ini berbeda: saya mau cerita tentang pengalaman rawat inap di RSUP Dr. Ben Mboi Kupang. Lucunya, bukannya terasa seperti opname, kamar yang saya tempati justru berasa kayak staycation singkat.


Nah ini dia nih penampakan kamar yang saya tempati ini 1 kamar diisi 4 orang. Tapi pas saya sampai saya sendiri yang menempati kamar itu jadi berasa private yhekan. Intinya bersyukur dalam segala hal walaupun memang saya dapat kamar paling pojok. Tapi gpp jauh dari keriuhan kamar-kamar yang lain.


Saya masuk rumah sakit tanggal 31 Juli 2025 dan pulang tanggal 2 Agustus 2025, pasca menjalani operasi di payudara. 


Dapat kamar 318 Lantai 3 Bougenville. Jujur saja, awalnya saya tidak punya ekspektasi apa-apa. Apalagi BPJS saya sekarang sudah turun kelas ke type 3 (sebelumnya type 1). Alasannya sederhana: setelah punya tiga anak, tentu pengeluaran rumah tangga bertambah besar, jadi saya realistis menyesuaikan iuran BPJS.

Baca Juga BIRADS 4A: Antara Panik, Pasrah, dan Pura-Pura Tenang

Tapi ternyata, yang saya temukan benar-benar di luar dugaan.

A. Kamar yang Bersih dan Rapi


Hal pertama yang bikin saya kaget adalah kebersihan kamar. Dari lantai, tempat tidur, hingga kamar mandi semuanya terjaga rapi. Tidak ada bau aneh khas rumah sakit yang biasanya bikin tidak nyaman. Bahkan, kamarnya terang dan sirkulasi udaranya bagus, jadi tidak terasa pengap.

B. Fasilitas yang Nyaman


1. Tempat tidur pasien sudah standar rumah sakit modern, bisa diatur posisi naik-turun sesuai kebutuhan. Sangat membantu pasca operasi.


2. Sofa bed untuk penunggu pasien, ini poin plus besar. Penunggu tidak perlu duduk semalaman di kursi keras, tapi bisa ikut rebahan dengan nyaman.


3. AC dingin dan berfungsi dengan baik, jadi suasana kamar tetap sejuk walaupun di Kupang siang hari panasnya luar biasa.


4. Kamar mandi dalam ukurannya cukup luas, bersih, dan ada shower yang berfungsi normal.
 

Buat saya, ini melebihi ekspektasi, karena biasanya kamar mandi kelas 3 di rumah sakit lain jauh dari kata nyaman.


5. View kamar juga enak dipandang. Rasanya lebih segar melihat pemandangan luar ketimbang hanya menatap tembok.

Baca Juga Pengalaman Eksisi Biopsi: Ternyata Nggak Seseram Itu, Hanya Mabuk Bius

C. Perawatan Pasien yang Sama Rata
Satu hal penting yang saya rasakan adalah perlakuan kepada pasien sama saja, tidak dibeda-bedakan berdasarkan kelas. Poin plusnya juga makanannya menurut saya enak. 


Sekarang memang sistem BPJS sudah berubah: tidak ada lagi pembagian kelas 1, 2, atau 3. Semuanya digabung menjadi Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Jadi walaupun di kartu saya tertulis type 3, kenyataannya fasilitas yang saya terima sama dengan pasien lain.

Ke depan, memang akan ada penyesuaian iuran BPJS dengan tarif baru, sesuai dengan pemerataan kelas ini. Tapi setidaknya pasien bisa merasa lebih tenang, karena pelayanan dan fasilitas tidak lagi ditentukan oleh kelas iuran.

Rasanya Lebih Mirip Staycation
Kalau ditanya bagaimana pengalaman rawat inap di RS Ben Mboi, jawabannya: lebih mirip staycation singkat. Ada AC, kamar mandi bersih dengan shower, sofa bed, view bagus, dan suasana kamar yang tidak kalah dengan hotel bintang tiga.

Tentu saja opname bukanlah liburan, karena tubuh sedang sakit dan butuh perawatan. Tapi suasana kamar yang nyaman membuat proses pemulihan jadi lebih ringan. Saya bisa istirahat tenang, keluarga yang menemani juga bisa lebih rileks.

Pengalaman saya di kamar 318 RS Ben Mboi benar-benar positif. Dari sisi fasilitas, kebersihan, hingga pelayanan, semuanya jauh melebihi ekspektasi saya untuk kamar yang dulunya disebut “kelas 3”.

Perubahan sistem BPJS yang menyamaratakan kelas membuat semua pasien diperlakukan setara. Jadi, tidak ada lagi kekhawatiran soal perbedaan pelayanan.

Kalau biasanya saya mereview hotel, kali ini saya bisa bilang: rawat inap di RS Ben Mboi Kupang, khususnya di kamar 318, rasanya nyaman sekali bahkan seperti staycation di hotel.



Ada hal-hal yang cuma kita sadari setelah dibanting sama hidup. Salah satunya: Tubuh kita itu ternyata nggak suka dibohongi.

Kamis, 14 Agustus 2025, 3 hari menjelang hari kemerdekaan Negara, jadwal saya kontrol dan menerima hasil raport medis hasil operasi saya tanggal 1 Agustus 2025, di ruang Poli Onkologi RSUP Ben Mboi, nama saya dipanggil. Saya masuk dengan hati setengah gugup, setengah lega. Hasil histopatologi (PA) saya sudah keluar.

Dokter Ferry Andi Christian Purba, Sp.B, Subsp.Onk dokter bedah onkologi yang sejak awal menangani saya membuka map, menatap hasilnya, lalu tersenyum.

“Tuh kan Bu, hasilnya jinak, seperti yang saya bilang kemarin. Tapi yang harus diingat… Ibu ini sensitif hormon.”

Nah lho. Dari ekspresi “senyum lega” saya langsung berubah jadi “mendadak serius”.
Sensitif hormon? Apa lagi ini?

Beliau lalu mulai kuliah kilat.
Fibrocystic changes atau perubahan fibrokistik itu sering dipicu naik-turunnya estrogen dan progesteron. KB hormonal yang ibu gunakan kemarin KB implan, bikin kondisi ini tambah semarak. Bahasa gampangnya estrogen sintetis yang dikeluarkan ke tubuh Ibu pelan-pelan, tapi tubuh ibu menolak, payudara jadi lebih sensitif munculah benjolan

Baca Juga Saya Nggak Anti KB, Tapi Ini Alasan Saya Kapok Pakai KB Hormonal

Dan di kasus ibu, pemicunya jelas: KB hormonal implan yang saya pasang 2 bulan sebelumnya.
Bukan salah 100% si KB-nya, tapi tubuh ibu menolak “tamunya” ini. Hormon sintetis yang pelan-pelan dilepas ke tubuh, ternyata bikin payudara ibu makin sensitif. Akhirnya muncullah benjolan.


Karena ini lesi non-proliferatif, risiko kanker tidak bertambah besar seperti pada lesi proliferatif atau atypical hyperplasia. Tapi bukan berarti boleh cuek tetap perlu pemantauan:
Periksa payudara sendiri (SADARI) tiap bulan
USG atau mamografi sesuai saran dokter (biasanya tiap 6–12 bulan kalau ada riwayat benjolan)

Kata beliau
“Bukan berarti melarang total KB hormonal, Bu. Tapi untuk orang yang sensitif hormon seperti ibu, risikonya besar. Benjolan bisa balik, kista bisa muncul lagi,” jelas beliau.

Saran beliau sebagai dokter : Pilih KB non-hormonal, seperti IUD tembaga, kondom.
Saran beliau sebagai sesama manusia : kalau bisa KB Alami saja

KB Hormonal: Tidak Semua Orang Punya “Bakat” untuk Menerimanya


Dokter kemudian menambahkan sesuatu yang bikin saya makin manggut-manggut sambil menahan air mata:
 “Kita bersyukur fungsi ginjal dan hati Ibu masih baik. Banyak pasien saya yang datang dengan benjolan payudara atau kista rahim, awalnya dari KB hormonal. Ada yang sampai fungsi hati dan ginjalnya rusak gara-gara bertahun-tahun pakai KB implan.”

Baca juga Dari KB ke Benjolan: Kisah yang Ternyata ‘Hormonal’

Di titik ini saya ingin bilang ke semua perempuan: tolonglah, jangan cuma percaya “rasa sehat” versi perasaan. Karena kadang tubuh kita diam-diam kerja keras melawan sesuatu yang nggak cocok, tapi kita nggak sadar sampai alarmnya bunyi… dan alarm itu nggak pernah terdengar enak.

Operasi Payudara: Jangan Sampai Kenalan Kalau Nggak Siap Mental

Buat yang bilang, “Aku aman kok KB hormonal, nggak ada keluhan” serius, jangan tunggu sampai harus masuk ruang operasi.

Karena jujur, pengalaman dibedah payudara itu nggak ada manis-manisnya.
Masuk ruang bedah, lampu-lampu terang menyilaukan, udara dingin menusuk, semua orang sibuk menyiapkan alat.
Suami nggak bisa masuk, karena dia harus jaga anak-anak di rumah. Saya cuma bisa rebahan di meja operasi, pasrah.

Lalu datanglah “si mabuk bius total”.
Saya pikir tidur di-bius itu kayak tidur siang, eh ternyata bangun-bangun rasanya kepala melayang, badan lemas, dan ada nyeri yang cuma saya sendiri yang tahu rasanya. Nggak ada yang manis dari itu.

Pelajaran Berharga: Cek Ginjal, Cek Hati, dan Cek Hati Nurani
Kalau kamu sudah terlanjur pakai KB hormonal, tolong cek fungsi ginjal dan hati secara berkala. Jangan tunggu ada keluhan baru heboh.
Karena penyakit ini nggak kirim notifikasi WhatsApp. Dia datang diam-diam, lalu tiba-tiba… BAM! kita sudah di meja operasi.

Saya nggak bilang semua orang harus anti KB hormonal. Tapi kalau mau pakai, pakailah dengan otak, bukan cuma nyali. Karena dulu saya pasang KB implan hanya bermodal nyali, dan efeknya… ya, begini.

Bersyukur, dan Percaya Kekuatan Doa
Di balik semua cerita ini, saya bersyukur.
Bersyukur karena hasilnya jinak.
Bersyukur karena Tuhan kasih kesempatan untuk belajar mendengar tubuh saya sendiri.
Bersyukur karena dirawat di RS tipe B dengan dokter yang sabar, jelas, dan manusiawi. Terima kasih, Dokter Ferry.

Bersyukur juga untuk Tante Vero dan Kaka Stela yang menemani saya selama rawat inap.
Dan… saya percaya, bukan hanya obat dokter yang bekerja.

Doa juga punya peran besar.
Doa Novena Santo Yudas Tadeus, doa kepada Tuhan Yesus, dan doa Bunda Maria yang saya bisikkan setiap malam sebelum tidur, entah kenapa bikin hati saya lebih tenang.
Saya yakin doa-doa itu sampai ke langit.
Bahkan doa dari keluarga, teman, atau orang yang mungkin nggak saya kenal tapi diam-diam menyebut nama saya di doanya itu semua jadi kekuatan.

Doa adalah selimut paling hangat di ruang operasi manapun.
Bahkan ketika infus terasa perih di Vena dan nyeri operasi masih menusuk, saya merasa ada yang memeluk lewat doa.

Buat para perempuan, tolong dengarkan tubuhmu.Kalau ada gejala aneh, jangan cuma bilang “Ah, biasa ini mah.”
Kalau mau pakai KB hormonal, tahu dulu risikonya, dan selalu cek ginjal serta hati.
Dan kalau suatu hari kamu berada di situasi seperti saya, ingatlah: hasil lab itu penting, tapi kekuatan doa itu penyelamat jiwa.

Karena sehat itu bukan cuma soal angka di hasil lab, tapi juga tentang hati yang damai dan iman yang kuat.

Disclaimer! Ini Bukan Nakut-Nakutin, Sumpah!
Tulisan ini bukan buat nakutin.
Tulisan ini bukan untuk melarang KB (siapa saya melarang-larang 😂).
Tulisan ini juga bukan bentuk penolakan program BKKBN.
Ini murni cerita pribadi saya yang kalau diceritain sambil ngopi, mungkin bikin kamu mikir, “Lho kok bisa gitu?”

Hallah, Mbak… kamu itu ribet banget sih. Kalau nggak mau KB ya terserah, tapi nggak usah nakut-nakutin orang!

Nah, ini nih… padahal sumpah, bukan nakut-nakutin.
Kalau niatnya nakut-nakutin, saya udah bikin judul clickbait macam “KB Hormonal, Jalan Pintas Menuju Kamar Operasi” tapi kan nggak. Justru saya cerita supaya perempuan lebih AWARE. Lebih melek sama tubuhnya sendiri. Dan ya… biar nggak ngalamin drama yang sama kayak saya: payudara dibedah. Emang mau?


Awalnya Saya Santai Saja…
Jadi ceritanya, saya ditawarin pakai KB Implan.
Buat yang belum tahu, KB Implan itu salah satu jenis KB hormonal. Praktis, nggak perlu minum pil tiap hari atau suntik every 3 bulanan. Tapi efeknya… ya, kata dokter, jangka panjang. Dan ternyata, spoiler alert, nggak semua tubuh perempuan bisa cocok sama yang satu ini.

Baru sadar setelah ngobrol panjang sama Dokter Onkologi dan Dokter Radiologi, yang akhirnya bikin aku mikir:
“Mau dibius aja kita ditanya dulu alergi obat atau enggak. Mau disuntik antibiotik aja ditanya dulu riwayat kesehatan.
Masa mau masukin benda sintetis ke dalam tubuh selama 3 tahun, ya langsung sikat gitu aja tanpa tes apapun?”
JLEBBBBBB
Waktu itu rasanya pengen mukul jidat sendiri. Sambil bilang GOBLOK GOBLOK GOBLOK 🤮🤮


Ternyata, Sebelum Pasang KB Hormonal Itu Harus Tes, Ibu! tes hellowwww
Dan ya, aku baru tahu setelah kena batunya benjolan di payudara, pendarahan nggak normal, dan akhirnya harus operasi eksisi biopsi.

Sebenarnya, sebelum pasang KB Implan (atau KB hormonal lainnya), Dokter SpOG yang kompeten pasti akan menyarankan beberapa pemeriksaan dulu. Bukan karena LEBAY.

Kasus benjolan di payudara yang saya alami memang nggak bisa dibilang 100% gara-gara KB Implan. Tapi pas saya ngobrol sama dokter, beliau bilang, “Ya bisa jadi, Mbak. Apalagi kalau hormon nggak cocok, payudara jadi lebih sensitif.”

Bahkan obrolan panjang sama dokter radiologi bapak-bapak, punya anak satu yang dengan tegas melarang istrinya pakai KB hormonal. Alasannya? Beliau sudah lihat terlalu banyak kasus kayak saya. Ada yang kena di payudara, ada yang masalah di ginjal, ada yang hati-nya ngambek.

Kata Dokter:
Walaupun saya bukan Dokter Obygin tapi sebagai dokter kalau memasukkan sesuatu yang sifatnya sintetis ke tubuh pasti di awal akan ditanya tuh Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Medis

Riwayat haid (teratur nggak?), Riwayat menyusui, Riwayat alergi, Riwayat penyakit dalam (hipertensi, diabetes, penyakit liver, gangguan pembekuan darah), Riwayat KB sebelumnya dan efeknya

Nah dari sini dokter bisa tahu apakah tubuh Ibu sensitif terhadap hormon atau enggak
Selanjutnya nanti pasti ambil darah untuk Tes Fungsi Hati (SGOT-SGPT)

Karena KB hormonal itu diproses di hati, wajib tahu dulu kondisi liver kita kuat apa enggak. Kalau hasil SGOT/SGPT-mu tinggi, berarti hati kamu lagi kerja keras atau ada masalah, dan tambahan beban dari hormon bisa jadi terlalu berat. 

Ingat, liver itu organ sabar. Seringnya baru ketahuan setelah rusak parah. 

Ambil darah tadi juga sekalian Tes Fungsi Ginjal (Ureum, Kreatinin) Ginjal juga bagian dari sistem ekskresi yang akan bekerja untuk membuang kelebihan hormon sintetis dalam tubuh. Kalau kamu punya riwayat gangguan ginjal, KB hormonal bisa memperparah. 

Lalu, Tes Kehamilan Wajib. Karena jelas, jangan sampai pasang KB dalam keadaan hamil. Nggak semua kehamilan awal terdeteksi lewat gejala, jadi tes ini mutlak. Kemudian USG Rahim dan Payudara (kalau perlu) Kalau dokter mencurigai kamu punya riwayat benjolan, kista, atau nyeri payudara kronis, dokter bisa minta USG untuk cek lebih lanjut. Seharusnya ini jadi pertimbangan, apalagi buat kamu yang usianya sudah di atas 30-an.

Banyak kan testnya. Yang langsung pasang gas gess gosss Goblok kayak aku, jangan ya dek yaaaa!

Bukan Cuma Urusan Hormon
Kalau mau sedikit ilmiah jangan kabur dulu KB hormonal itu diprosesnya again di hati (SGOT, SGPT) dan juga mempengaruhi fungsi ginjal (ureum, kreatinin). Kalau kedua organ vital ini lagi ngambek, siap-siap aja tubuh kasih “surat peringatan” dalam bentuk gejala yang aneh-aneh.

Puji Tuhan, waktu saya tes darah di RSUP Ben Mboi, fungsi hati, ginjal, dan elektrolit saya masih aman. Hepatitis B? Nol. Infeksi darah? Nggak ada. Tapi periode haid saya jadi panjang lebih mirip pendarahan marathon ketimbang menstruasi normal.

Terus kenapa Banyak yang Langsung Pasang Tanpa Tes? ((Salah satunya saya))
Jawabannya simpel
Kadang karena kurang edukasi (contohnya lagi saya sendiri), berasa GOBLOK banget karena kurang riset.
Kadang karena sistem layanan kesehatan yang terburu-buru. Penjelasan bidan ga detail. 
Dan Kadang karena kita sebagai pasien terlalu manut dan nggak nanya apa-apa
Dan kadang jugaa, karena kita perempuan, kita terlalu sibuk ngurus semua orang kecuali diri sendiri. 

Akhirnya… Bye, KB Implan
Dokter pun menyarankan, selama masa pengobatan dan persiapan operasi, tubuh saya sebaiknya bebas dari hal-hal sintesis yang bikin kerja organ makin berat.
Jadi… yaudah, fix saya lepas.

Sekarang?
Big NO untuk semua jenis KB hormonal. Kapok, Say! Ini cukup jadi pengalaman sekali seumur hidup. Saya anggap ini teguran halus (tapi menohok) dari Tuhan: “Hei, jaga tubuhmu. Itu aset jangka panjang, bukan barang sewaan.”

Kenapa Saya Tulis Ini?
Karena jadi perempuan itu ribet.
Karena anak-anak saya masih kecil dan butuh ibu yang sehat.
Karena kesehatan itu investasi, bukan pengeluaran.

Dan karena saya nggak mau perempuan lain mengalami plot twist hidup yang sama kayak saya.

Bukan larangan. Bukan propaganda anti-KB.
Cuma cerita dari saya yang pernah ketok pintu ruang operasi gara-gara hal yang awalnya kelihatan sepele.

Kalau kamu mau pakai KB hormonal, silakan. Tapi please… kenali tubuhmu, pliss cek dulu ke Dokter SpOG, dan jangan cuma percaya sama “kata orang” "kata kader" dan cari bidan yang penjelasannya lengkap bukan sekedar macam iklan yang dijelasin yang manis-manis aja.

Kesehatan itu mahal. Tapi harga penyesalan jauh lebih mahal.
Postingan Lama Beranda

ABOUT ME

A Travel Enthusiast, Hotel Reviewer, and Food Lovers. Terima kasih sudah berkunjung ke dunia kecil Makvee.

SUBSCRIBE & FOLLOW

POPULAR POSTS

  • Review Jujur Sate Ratu (Sate Kanak dan Sate Merah)
  • Review Jujur Staycation di The Alana Malioboro Hotel
  • Review Jujur Le Mindoni Cafe
  • Review YATS Colony Jogja
  • Hasil Histopatologi Anatomi yang Melegakan sekaligus Menghangatkan Hati
  • Blogging: Mesin Waktu Paling Personal yang Pernah Aku Miliki
  • Cerita dari Lorong Poli Onkologi dan Urologi
  • Saya Nggak Anti KB, Tapi Ini Alasan Saya Kapok Pakai KB Hormonal
  • Pengalaman Eksisi Biopsi: Ternyata Nggak Seseram Itu, Hanya Mabuk Bius
  • Dari KB ke Benjolan: Kisah yang Ternyata ‘Hormonal’

Categories

Travel Kuliner hotel Travelling hotel review Hotel Jogja

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.

Blog Archive

  • Agustus 2025 (7)
  • Juli 2025 (1)
  • Juni 2025 (1)
  • Mei 2025 (5)
  • April 2025 (3)
  • Maret 2025 (13)
  • Mei 2024 (2)
  • April 2024 (1)
  • Maret 2024 (2)
  • Januari 2024 (1)
  • November 2023 (1)
  • Oktober 2023 (1)
  • September 2023 (2)
  • Mei 2023 (2)
  • April 2023 (1)
  • Maret 2023 (1)
  • Januari 2023 (1)
  • Agustus 2022 (2)
  • Juni 2022 (2)
  • April 2022 (31)
  • Maret 2022 (5)
  • Februari 2022 (2)
  • Desember 2021 (1)
  • Juni 2021 (1)
  • Mei 2021 (3)
  • April 2021 (2)
  • Maret 2021 (2)
  • Februari 2021 (4)
  • Januari 2021 (2)
  • Desember 2020 (8)
  • November 2020 (3)
  • Oktober 2020 (3)
  • September 2020 (3)
  • Agustus 2020 (1)
  • Mei 2020 (1)
  • Maret 2020 (2)
  • Februari 2020 (7)
  • Januari 2020 (1)
  • Desember 2019 (2)
  • November 2019 (3)
  • Oktober 2019 (2)
  • Agustus 2019 (4)
  • Juli 2019 (5)
  • Juni 2019 (10)
  • Mei 2019 (27)
  • April 2019 (5)
  • Maret 2019 (2)
  • Februari 2019 (2)
  • Januari 2019 (1)
  • Desember 2018 (5)
  • November 2018 (1)
  • Oktober 2018 (2)
  • September 2018 (2)
  • Agustus 2018 (2)
  • Juni 2018 (2)
  • November 2017 (1)
  • Mei 2017 (1)
  • Februari 2017 (2)
  • September 2016 (1)
  • Februari 2016 (1)
  • Agustus 2015 (1)
  • Juli 2015 (1)
  • Juni 2015 (2)
  • Mei 2015 (4)
  • November 2014 (1)
  • Oktober 2014 (1)

Komunitas Blogger Jogja

Komunitas Blogger Jogja

BLogger Perempuan Network

BLogger Perempuan Network

Komunitas Emak Blogger

Komunitas Emak Blogger

Popular

  • Review Jujur Sate Ratu (Sate Kanak dan Sate Merah)
    Yummmmy Senja menyapa perutpun berbunyi, tanda tubuh bahwa saatnya makan. Teringat sate favorit yang berada di area Jogja Paradise. Cu...
  • Review Jujur Le Mindoni Cafe
    Hi Nongkrongers? Apa kabar? Aku harap kalian baik dan sehat ya. Sebagai high quality single, Makvee pasti sangat selow dan woles ka...

Designed by OddThemes | Distributed By Gooyaabi Template