10+1 ALASAN TIDAK MENIKAH BY AYU UTAMI
10+1 ALASAN TIDAK MENIKAH BY AYU UTAMI
sebenarnya ini ditulis July 14, 2012 at 6:55am
Ketika itu saya sedang gandrungnya dengan Ayu Utami dan prinsip2nya, tapi persepsi saya mengenai pernikahan sudah banyak berubah.
10 + 1 Alasan untuk Tidak Menikah
by Ayu Utami
Inilah sebelas alasan kenapa tidak menikah adalah sikap politik saya, dan karenanya saya tidak layak diundang oleh Jeremy Thomas sebagai tamunya dalam Love & Life
1. Memangnya harus menikah?
2. Tidak merasa perlu
3. Tidak peduli
4. Amat peduli. Jika di satu sisi saya mudah dianggap tidak peduli pada nilai yang dipercaya ibu saya, di sisi lain saya sesungguhnya amat peduli.Awalnya sederhana saja. Sejak kecil saya melihat masyarakat mengagungkan pernikahan. Ironisnya, dongeng Cinderella, Putri Salju, Putri Tidur, Pretty Woman tamat pada upacara, tukar cincin, dentang lonceng, atau ciuman di balkon. Artinya, tidak ada dongeng tentang perkawinan itu sendiri.
Sesungguhnya pada titik dongeng berhenti, seorang enak diperkenalkan pada yang realistis. Yang tidak diceritakan itu. Yaitu, bahwa pernikahan tidak ideal. Selain kasih sayang, juga ada kebosanan, penyelewengan, pemukulan. Tetapi itu tabu dibicarakan. Sebaliknya, masyarakat mereproduksi terus
nilai yang mengagungkan pernikahan. Mereka menempatkan jodoh sebagai titik nadir sejajar dengan kelahiran dan kematian. Suatu proses yang wajib dilalui manusia. Seolah-olah alamiah, bahkan kodrati. Barangkali percintaan memang amat romantis sehingga orang, misalnya saya dan pacar saya kalau lagi jatuh cinta, suka berkhayal bahwa kami dipersatukan oleh malaikat (tentu khayalan ini berakhir bersama selesainya hubungan). Perasaan melambung itu mungkin yang membuat kita ogah mengakui bahwa kita lahir dan mati adalah proses biologis, sementara menikah adalah konstruksi sosial belaka.
Persoalannya, selalu ada yang tidak beres dengan konstruksi sosial. Pada umumnya pernikahan masih melanggengkan dominasi pria atas wanita. Kecuali di beberapa negara liberal Eropa, hukum tidak terlalu berpihak pada istri.
Di Indonesia ini terlihat pada setidaknya undang-undang perkawinan, perburuhan, maupun imigrasi. Di masyarakat, begitu banyak pengaduan kasus kekerasan domestik terhadap perempuan. Kita dengar dari media massa tentang pemukulan atas pembantu rumah tangganya Imaniar hingga atas Ayu Azhari oleh suaminya sendiri. Ketimpangan jender harus diakui.
Tapi puncak pengesahan supremasi pria atas wanita adalah dalam poligami. Tema yang hampir-hampir tak pernah dikembangkan, bahkan dalam dongeng 1001 malam. (Menurut saya topik ini digarap dengan amat muram dan mencekam dalam Raise the Red Lentern oleh Zhang Yi Mou). Bahwa seorang lelaki boleh memiliki banyak bini, tapi seorang istri tidak diperkenankan memiliki banyak laki. Padahal, secara biologis perempuanlah yang bisa betul-betul yakin bahwa anak yang dikandungnya adalah anaknya sendiri. Waktu remaja tentu saja saya merasa tidak nyaman membaca berita bahwa Rhoma Irama kawin lagi dengan Rika Rachim, yang lebih muda dan segar daripada Veronica, istri pertamanya yang kemudian minta cerai karean tidak mau dimadu. (Saya menyetujui perselingkuhan, sebab perselingkuhan istri maupun suami sama-sama tidak disahkan hukum).
Saya anti-poligami. Tapi bukannya tidak bisa melihat rasionalisasi di balik kawin ganda ini. Poligami adalah masuk akal di dalam masyarakat yang amat patriarkal, yang berasumsi bahwa pria superior, bahwa pria menyantuni perempuan dan tak mungkin sebaliknya, sehingga tanpa lelaki seorang perempuan tak memiliki pelindung. Para pendukung poligami umumnya gagal untuk mengakui bahwa poligami hanya adil untuk sementara, yaitu dalam konteks masyarakat patriarkal. Dan bahwa kita punya pekerjaan besar untuk mengubah sistem yang cenderung berpihak pada pria itu. Makanya, saya kecewa ketika dalam periode Gus Dur, Menteri Pemberdayaan Perempuan tidak menentang pencabutan PP 10 yang melarang pegawai negeri beristri banyak. (Dalam hal ini saya lebih suka Soeharto daripada Hamzah Haz.)
Lantas, apa hubungan semua perkara besar itu dengan saya? Hubungannya adalah bahwa saya peduli, yaitu jengkel dengan idealisasi tadi. Barangkali saya ingin mengatakan bahwa ada persoalan di balik pengagungan atas pernikahan. Pernikahan tidak dengan sendirinya membuat hidup Anda sempurna atau bahagia. Saya ingin mengingatkan, ada jalan alternatif. Perempuan tak perlu menjadi istri kesekian atau kawin dengan lelaki bertelapak tangan ringan hanya demi jadi Nyonya Fulan.
Catatan: Jika perkawinan ibarat pasar, orang-orang yang memutuskan tidak menikah sesungguhnya mengurangi pasokan istri seperti OPEC mengatur suplai minyak. Juga memperingatkan para suami bahwa istri bisa tak bergantung pada dia. Dengan demikian, mestinya harga istri menjadi lebih mahal sehingga harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya. (Nah, saya peduli dan berniat baik, kan?)
5. Trauma. Saya punya trauma. Bukan pada lelaki, sebagaimana diperkirakan banyak orang, misalnya seorang ibu pendakwah di televisi. Melainkan pada sesama perempuan yang tidak sadar bahwa mereka tunduk danmelanggengkan nilai-nilai patriarki.
Saya punya dua bibi pemuja perkawinan. Salah satunya begitu mengagungkan persuntingan sehingga jika saya menikah, ia takkan menyapa saya dalam suratnya sebagai Ayu, melainkan sebagai Nyonya Anu. Tapi mereka sendiri tidak menikah. Bukan tak mau, melainkan karena tak dapat suami. Mereka juga pencemburu pada perempuan lain yang bukan sedarah dalam keluarga kami. Mereka cenderung menganggap anak laki-laki lebih berharga ketimbang anak perempuan. Syukurlah bahwa ayah-ibu saya memperlakukan sama
putra-putrinya, sehingga saya tidak punya dendam, sembari tetap melihat ketidakadilan.
Saya juga punya guru-guru di SD dan SMP yang memenuhi segala stereotipe tentang perawan tua, perempuan "tidak laku" yang dengki. Mereka mengidealkan perkawinan. Mereka tidak mendapat suami. Mereka adalah guru-guru paling killer di sekolah. Mereka menghukum dengan berlebihan. Mereka membenci murid-murid yang cantik, setidaknya begitu mudah berang pada wajah ayu. Syukurlah, saya tidak ayu dan cenderung tomboy sehingga mereka baik pada saya. Dengan demikian, saya punya simpati baik pada si guru maupun pada korbannya, teman saya yang cantik. Sembari tetap merasakan ketidakadilan.
Pada masa kanak dan remaja, kesejajaran antara "perawan tua" dengan tabiat pendengki tampak begitu nyata, sehidup kakak tiri Cinderella. Untuk mengatakan bahwa hal-hal tersebut tidak saling berkaitan adalah naif. Lagi pula, demikianlah stereotipe yang dilanggengkan masyarakat. Tapi, untuk mempercayai bahwa perempuan yang tidak kawin niscaya mempunyai problem psikologis juga terlalu menyederhanakan persoalan.
Inilah trauma saya: bahwa saya melihat sindrom perawan tua. Sejak remaja saya merasa terganggu olehnya. Bertahun lalu saya menulis dalam diary, "Barangkali saya tidak akan menikah kelak, tetapi saya tidak akan menjadi pencemburu." Mungkin inilah jalan yang saya pilih: masuk ke dalam trauma itu dan membalikkannya. Masuk ke dalam prasangka masyarakat dan membuktikan kesalahannya.
Bibi saya, guru saya, adalah orang yang terluka. Mereka dilukai oleh masyarakat yang hanya menganggap sempurna wanita berkeluarga dan menganggap tak laku perempuan lajang tua. Dan luka itu adalah milih setiap perempuan.
Saya ingin mengorak luka itu, luka saya juga, dan menunjukkan bahwa ini hanya konstruksi sosial, sehingga kita tak perlu menjadi sakit karenanya.
Tapi alasan ini kok terlalu heroik ya? Nah alasan berikutnya adalah:
6.Tidak berbakat. Rasanya, saya tidak berbakat untuk segala yang formal dan institusional. Contohnya, sejak SMP saya tidak pernah menjadi murid yang baik.
7. Kepadatan penduduk. Saya tidak ingin menambah pertumbuhan penduduk dengan membelah diri.
8. Seks tidak identik dengan perkawinan. Wah, pertama ini konsekuensi alasan ke-5 tadi: saya kan harus membuktikan bahwa perawan tua dan tak menikah tidak berhubungan. Kedua, siapa bilang orang menikah tidak berhubungan seks dengan bukan pasangannya.
9. Sudah terlanjur asyik melajang.
10. Tidak mudah percaya. Ibu saya selalu mengatakan bahwa menikah membuat kita tidak kesepian di hari tua. Tapi siapa yang bisa jamin bahwa pasangan tak akan bosan dan anak tidak akan pergi? Tak ada yang abadi di dunia ini, jadi sama saja.
Poin ini yang bikin saya susah percaya pada sebuah hubungan, bahkan selalu dingin, apakah saya takut terluka? bisa jadi iya, kata orang hati laki-laki tidak berkaki tapi bersayap :(
+1 Dan kenapa saya menceritakan semua itu? Sebab selalu ditanya. Inilah anehnya kesadaran. Ketika kita menjalani hidup, sebetulnya semua mengalir begitu saja. Tetapi ketika kita ditanya, kita seperti dipaksa
untuk menyadari dan merumuskan. Lantas, sesuatu yang semula terasa wajar menjelma sikap politik.
lebih lengkapnya cariii bukunya yaaa... Si parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, dan Eks Parasit Lajang buku yang ga bosen kalo dibaca diulang-ulang.
10 + 1 Alasan untuk Tidak Menikah
by Ayu Utami
Inilah sebelas alasan kenapa tidak menikah adalah sikap politik saya, dan karenanya saya tidak layak diundang oleh Jeremy Thomas sebagai tamunya dalam Love & Life
1. Memangnya harus menikah?
2. Tidak merasa perlu
3. Tidak peduli
4. Amat peduli. Jika di satu sisi saya mudah dianggap tidak peduli pada nilai yang dipercaya ibu saya, di sisi lain saya sesungguhnya amat peduli.Awalnya sederhana saja. Sejak kecil saya melihat masyarakat mengagungkan pernikahan. Ironisnya, dongeng Cinderella, Putri Salju, Putri Tidur, Pretty Woman tamat pada upacara, tukar cincin, dentang lonceng, atau ciuman di balkon. Artinya, tidak ada dongeng tentang perkawinan itu sendiri.
Sesungguhnya pada titik dongeng berhenti, seorang enak diperkenalkan pada yang realistis. Yang tidak diceritakan itu. Yaitu, bahwa pernikahan tidak ideal. Selain kasih sayang, juga ada kebosanan, penyelewengan, pemukulan. Tetapi itu tabu dibicarakan. Sebaliknya, masyarakat mereproduksi terus
nilai yang mengagungkan pernikahan. Mereka menempatkan jodoh sebagai titik nadir sejajar dengan kelahiran dan kematian. Suatu proses yang wajib dilalui manusia. Seolah-olah alamiah, bahkan kodrati. Barangkali percintaan memang amat romantis sehingga orang, misalnya saya dan pacar saya kalau lagi jatuh cinta, suka berkhayal bahwa kami dipersatukan oleh malaikat (tentu khayalan ini berakhir bersama selesainya hubungan). Perasaan melambung itu mungkin yang membuat kita ogah mengakui bahwa kita lahir dan mati adalah proses biologis, sementara menikah adalah konstruksi sosial belaka.
Persoalannya, selalu ada yang tidak beres dengan konstruksi sosial. Pada umumnya pernikahan masih melanggengkan dominasi pria atas wanita. Kecuali di beberapa negara liberal Eropa, hukum tidak terlalu berpihak pada istri.
Di Indonesia ini terlihat pada setidaknya undang-undang perkawinan, perburuhan, maupun imigrasi. Di masyarakat, begitu banyak pengaduan kasus kekerasan domestik terhadap perempuan. Kita dengar dari media massa tentang pemukulan atas pembantu rumah tangganya Imaniar hingga atas Ayu Azhari oleh suaminya sendiri. Ketimpangan jender harus diakui.
Tapi puncak pengesahan supremasi pria atas wanita adalah dalam poligami. Tema yang hampir-hampir tak pernah dikembangkan, bahkan dalam dongeng 1001 malam. (Menurut saya topik ini digarap dengan amat muram dan mencekam dalam Raise the Red Lentern oleh Zhang Yi Mou). Bahwa seorang lelaki boleh memiliki banyak bini, tapi seorang istri tidak diperkenankan memiliki banyak laki. Padahal, secara biologis perempuanlah yang bisa betul-betul yakin bahwa anak yang dikandungnya adalah anaknya sendiri. Waktu remaja tentu saja saya merasa tidak nyaman membaca berita bahwa Rhoma Irama kawin lagi dengan Rika Rachim, yang lebih muda dan segar daripada Veronica, istri pertamanya yang kemudian minta cerai karean tidak mau dimadu. (Saya menyetujui perselingkuhan, sebab perselingkuhan istri maupun suami sama-sama tidak disahkan hukum).
Saya anti-poligami. Tapi bukannya tidak bisa melihat rasionalisasi di balik kawin ganda ini. Poligami adalah masuk akal di dalam masyarakat yang amat patriarkal, yang berasumsi bahwa pria superior, bahwa pria menyantuni perempuan dan tak mungkin sebaliknya, sehingga tanpa lelaki seorang perempuan tak memiliki pelindung. Para pendukung poligami umumnya gagal untuk mengakui bahwa poligami hanya adil untuk sementara, yaitu dalam konteks masyarakat patriarkal. Dan bahwa kita punya pekerjaan besar untuk mengubah sistem yang cenderung berpihak pada pria itu. Makanya, saya kecewa ketika dalam periode Gus Dur, Menteri Pemberdayaan Perempuan tidak menentang pencabutan PP 10 yang melarang pegawai negeri beristri banyak. (Dalam hal ini saya lebih suka Soeharto daripada Hamzah Haz.)
Lantas, apa hubungan semua perkara besar itu dengan saya? Hubungannya adalah bahwa saya peduli, yaitu jengkel dengan idealisasi tadi. Barangkali saya ingin mengatakan bahwa ada persoalan di balik pengagungan atas pernikahan. Pernikahan tidak dengan sendirinya membuat hidup Anda sempurna atau bahagia. Saya ingin mengingatkan, ada jalan alternatif. Perempuan tak perlu menjadi istri kesekian atau kawin dengan lelaki bertelapak tangan ringan hanya demi jadi Nyonya Fulan.
Catatan: Jika perkawinan ibarat pasar, orang-orang yang memutuskan tidak menikah sesungguhnya mengurangi pasokan istri seperti OPEC mengatur suplai minyak. Juga memperingatkan para suami bahwa istri bisa tak bergantung pada dia. Dengan demikian, mestinya harga istri menjadi lebih mahal sehingga harus diperlakukan dengan sebaik-baiknya. (Nah, saya peduli dan berniat baik, kan?)
5. Trauma. Saya punya trauma. Bukan pada lelaki, sebagaimana diperkirakan banyak orang, misalnya seorang ibu pendakwah di televisi. Melainkan pada sesama perempuan yang tidak sadar bahwa mereka tunduk danmelanggengkan nilai-nilai patriarki.
Saya punya dua bibi pemuja perkawinan. Salah satunya begitu mengagungkan persuntingan sehingga jika saya menikah, ia takkan menyapa saya dalam suratnya sebagai Ayu, melainkan sebagai Nyonya Anu. Tapi mereka sendiri tidak menikah. Bukan tak mau, melainkan karena tak dapat suami. Mereka juga pencemburu pada perempuan lain yang bukan sedarah dalam keluarga kami. Mereka cenderung menganggap anak laki-laki lebih berharga ketimbang anak perempuan. Syukurlah bahwa ayah-ibu saya memperlakukan sama
putra-putrinya, sehingga saya tidak punya dendam, sembari tetap melihat ketidakadilan.
Saya juga punya guru-guru di SD dan SMP yang memenuhi segala stereotipe tentang perawan tua, perempuan "tidak laku" yang dengki. Mereka mengidealkan perkawinan. Mereka tidak mendapat suami. Mereka adalah guru-guru paling killer di sekolah. Mereka menghukum dengan berlebihan. Mereka membenci murid-murid yang cantik, setidaknya begitu mudah berang pada wajah ayu. Syukurlah, saya tidak ayu dan cenderung tomboy sehingga mereka baik pada saya. Dengan demikian, saya punya simpati baik pada si guru maupun pada korbannya, teman saya yang cantik. Sembari tetap merasakan ketidakadilan.
Pada masa kanak dan remaja, kesejajaran antara "perawan tua" dengan tabiat pendengki tampak begitu nyata, sehidup kakak tiri Cinderella. Untuk mengatakan bahwa hal-hal tersebut tidak saling berkaitan adalah naif. Lagi pula, demikianlah stereotipe yang dilanggengkan masyarakat. Tapi, untuk mempercayai bahwa perempuan yang tidak kawin niscaya mempunyai problem psikologis juga terlalu menyederhanakan persoalan.
Inilah trauma saya: bahwa saya melihat sindrom perawan tua. Sejak remaja saya merasa terganggu olehnya. Bertahun lalu saya menulis dalam diary, "Barangkali saya tidak akan menikah kelak, tetapi saya tidak akan menjadi pencemburu." Mungkin inilah jalan yang saya pilih: masuk ke dalam trauma itu dan membalikkannya. Masuk ke dalam prasangka masyarakat dan membuktikan kesalahannya.
Bibi saya, guru saya, adalah orang yang terluka. Mereka dilukai oleh masyarakat yang hanya menganggap sempurna wanita berkeluarga dan menganggap tak laku perempuan lajang tua. Dan luka itu adalah milih setiap perempuan.
Saya ingin mengorak luka itu, luka saya juga, dan menunjukkan bahwa ini hanya konstruksi sosial, sehingga kita tak perlu menjadi sakit karenanya.
Tapi alasan ini kok terlalu heroik ya? Nah alasan berikutnya adalah:
6.Tidak berbakat. Rasanya, saya tidak berbakat untuk segala yang formal dan institusional. Contohnya, sejak SMP saya tidak pernah menjadi murid yang baik.
7. Kepadatan penduduk. Saya tidak ingin menambah pertumbuhan penduduk dengan membelah diri.
8. Seks tidak identik dengan perkawinan. Wah, pertama ini konsekuensi alasan ke-5 tadi: saya kan harus membuktikan bahwa perawan tua dan tak menikah tidak berhubungan. Kedua, siapa bilang orang menikah tidak berhubungan seks dengan bukan pasangannya.
9. Sudah terlanjur asyik melajang.
10. Tidak mudah percaya. Ibu saya selalu mengatakan bahwa menikah membuat kita tidak kesepian di hari tua. Tapi siapa yang bisa jamin bahwa pasangan tak akan bosan dan anak tidak akan pergi? Tak ada yang abadi di dunia ini, jadi sama saja.
Poin ini yang bikin saya susah percaya pada sebuah hubungan, bahkan selalu dingin, apakah saya takut terluka? bisa jadi iya, kata orang hati laki-laki tidak berkaki tapi bersayap :(
+1 Dan kenapa saya menceritakan semua itu? Sebab selalu ditanya. Inilah anehnya kesadaran. Ketika kita menjalani hidup, sebetulnya semua mengalir begitu saja. Tetapi ketika kita ditanya, kita seperti dipaksa
untuk menyadari dan merumuskan. Lantas, sesuatu yang semula terasa wajar menjelma sikap politik.
lebih lengkapnya cariii bukunya yaaa... Si parasit Lajang, Cerita Cinta Enrico, dan Eks Parasit Lajang buku yang ga bosen kalo dibaca diulang-ulang.
0 comments