Dari Pandemi Kita Belajar Waktu Paling Mulia untuk Kembali Mencintai Bumi
Maret 2 tahun lalu, ya 11 Maret 2022 adalah ulang tahun virus yang telah membersamai kita, membuat gerak kita terbatas, membuat kita takut, ragu, dan bertanya tentang apa yang terjadi. Saya ingat ketika Badan Kesehatan Dunia PBB (WHO) telah menyatakan wabah Covid-19 sebagai pandemi pada 11 Maret 2020. Dunia menjadi semakin waspada dengan memaksimalkan penanganan Covid-19 melalui berbagai cara.
Salah
satu yang mendasari penetapan pandemi kala itu adalah penyebaran Covid-19 yang
begitu massif dan telah merambah ke lebih dari 110 negara dengan lebih dari
100.000 kasus. Bayangkan betapa mengerikannya saat itu, dan jujur saya takut. Di sisi lain bencana alam pun tak kalah
serunya ya banjir. Banjir bandang yang melanda Kalimantan, kebakaran hutan, badai,
dan putting beliung semuanya rasanya begitu kewalahan hadir di hidup manusia.
Sumber Foto https://teks.co.id/kerusakan-lingkungan-hidup/ |
Jika saya flashback ke belakang lagi, masih ingat pula saat itu pemerintah pada 6 Maret 2020 menghimbau kepada seluruh masyarakat untuk mematuhi protokol Kesehatan yang merupakan bagian dari sistem penyangga dalam upaya menjaga keselamatan dan kesehatan diri serta lingkungan guna membatasi penyebaran Covid-19. Ingatkah kita? Bahwa kala itu masker juga menjadi barang langka. Menulis ini mata saya berair dan seluruh tubuh saya bergidik.
Memang
virus Covid-19 ini cenderung labil, cepat mutasinya dan tidak cukup tahan di luar
inang atau segera mati oleh panas matahari. Walau panas matahari tidak menjadi jaminannya. Ada
banyak premis yang beredar di luar sana, tapi saya pikir kerusakan bumi ini,
pemanasan global, mudah berkembangnya virus tentu saja sedikit banyak disebabkan
oleh tingkah manusia yang semakin tidak berakal budi.
Mengutip dari World
Health Organization (WHO), United Nations (UN), dan World Wide Fund (WWF)
menyatakan bahwa pandemi seperti virus corona merupakan hasil dari kerusakan
alam yang dibuat oleh manusia. Perdagangan satwa liar yang ilegal, hewan-hewan
ekstrim yang dimakan, hewan yang mestinya tidak dikonsumsi dijadikan dalih
sebagai obat yang entah sebenarnya hanya alasan atau memang kerakusan manusia
yang semakin menjadi-jadi, hingga kehancuran hutan dan tempat-tempat alam liar
lainnya masih menjadi faktor pendorong di balik meningkatnya jumlah penyakit
baru yang berpindah dari satwa ke manusia.
Para pemimpin WHO, UN, dan WWF menyerukan adanya pemulihan lahan hijau yang sehat demi bangkit dari kondisi pandemi Covid-19, terutama dengan mereformasi pertanian yang rusak dan program-program lingkungan yang berkelanjutan. Terutama meningkatkan kesadaran manusia untuk kembali lagi berefleksi dan mencintai alam yang kita tinggali dengan lebih dan lebih.
Tindakan Nyata Untuk
Mengurangi dan Menolak
Menjadi Si Bawa
Bekal
Hal yang saya
biasakan sekarang adalah mengurangi yang dibutuhkan dan menolak yang sekiranya
bisa ditolak. Berdisiplin membawa kantong belanja tiap kali datang ke
supermarket. Menolak plastik jika ada pilihan kardus saya lebih memilih
menggunakan kardus. Selain itu kardus yang disediakan di beberapa supermarket
besar langganan saya itu gratis dibanding plastik yang dikenakan tarif Rp200,-
perak.
Si Totebag
Saya ingat teman
saya Shinta, yang memberi saya kado totebag merah maroon berbahan kanvas untuk
saya, senang sekali rasanya karena dia tau saya penyuka totebag, mulai dari
totebag event, totebag supermarket, dan totebag souvenir hasil kondangan manten
saya kumpulkan. Menjadi pengganti kantung plastik yang bisa saya cuci atau mau berganti tiap hari juga
bisa.
Kebiasaan tersebut memang pembiasaan dari kecil membawa bekal makan sendiri dan tas sendiri
Si Perhitungan
Teman-teman di
kantor saya tahu saya ini hobi jajan. Tapi hobi jajan kan harus tetap memperhatikan
lingkungan, itu prinsip saya. Kalau saldo di aplikasi pengantar makanan daring
saya sedang penuh. Saya biasa memesannya secara daring, eitss tapi ada tapinya
demi memikirkan emisi dan berhemat, biasanya saya pilih makanan yang ada di
sekitar dengan jarak antara 2-3 Km. Lalu, saya juga tidak memesan di jam padat
pesanan. Selain lama, nanti kendaraan driver harus bermacet-macetan, dan ini
tentu saja menambah emisi. Kalaupun saldo di aplikasi daring saya menipis saya
memilih untuk sejenak keluar kantor, yang bisa saya jangkau dengan berjalan
kaki maka saya akan berjalan kaki, tapi kalau harus naik motor, saya pilih
sekali lagi yang dekat-dekat saja.
Hemat Listrik
Seperti Kata Ibu Saya
Siapa di rumah
yang paling bawel soal listrik, pasti Ibu. Ya mungkin banyak yang merasakan
ini, demikian juga saya. Ibu saya adalah orang yang paling sering mengingatkan orang-orang
di rumah untuk mematikan listrik. Tapi ada benarnya juga, hemat listrik agar
pembayaran listrik bulan depan tidak melonjak tapi efek besarnya tentu saja pengurangan
emisi. Ya demi #UntukmuBumiku #TeamUpforImpact Bagi saya si hobi tidur ini, tidur lebih cepat membuat saya lebih bugar
setiap harinya apalagi semenjak hamil ini, saya jadi benar-benar “kebo” hobi
tidur. Jika memang ada pekerjaan yang bisa saya kerjakan dari pagi ke siang
maka saya akan bekerja sepanjang pagi ke siang. Malam saya usahakan untuk tidak
terlalu banyak menggunakan listrik dengan begini emisi akibat penggunaan listrik
yang tidak diperlukan pun bisa dikurangi. Saya juga selalu dari kecil tidur dengan lampu padam,
justru kalau lampu dinyalakan saya tidak bisa tidur.
Mencoba Menanam
Agar tidak keseringan jajan dan mengurangi belanjaan saya mulai menanam di rumah, walaupun masih kecil-kecilan semoga bisa menjadi manfaat yang besar. Saya menanam cabai, bunga-bunga, strawberry, menanam kembali akar daun bawang yang tersisa di dapur, dan menanam telang
Saya yakin langkah
kecil saya bisa membawa dampak perubahan yang besar bagi bumi, apalagi bulan
april ini kita diiingatkan kembali mengenai hari bumi. Bumi tempat kita tinggal
dan hidup. Siapa yang menjaganya kalau bukan kita. Dari Pandemi Kita Belajar bahwa inilah waktu paling mulia untuk kembali mencintai bumi. #UntukmuBumiku #TeamUpforImpact
0 comments