Blogging: Mesin Waktu Paling Personal yang Pernah Aku Miliki


Ada banyak cara orang menyimpan kenangan. Ada yang menulis di buku harian, ada yang memenuhi galeri ponsel dengan foto, ada yang sekadar mengandalkan ingatan (lalu menyesal ketika lupa detail penting). Aku? Aku memilih blogging.  

Dulu, ketika pertama kali membuat www.makveestory.com, niatnya sederhana: ingin menulis. Menulis apa pun yang terlintas di kepala, dari cerita sehari-hari sebagai ibu tiga anak, opini receh soal tren terkini, sampai hal-hal filosofis yang muncul setelah begadang menyusui. Tapi lama-lama, blog ini bukan cuma jadi tempat berbagi cerita, melainkan juga menjadi mesin waktu pribadi.  

Menulis: Healing Paling Murah, Tanpa Antri, Tanpa Bon Terapi
Kalau hidup ini sinetron, pasti sudah ada musik mendayu-dayu yang mengiringi setiap overthinking yang muncul di kepala. Aku, sebagai ibu tiga anak yang jam tidurnya lebih pendek dari durasi iklan YouTube, sudah kenyang dengan drama sehari-hari. Dari anak pertama yang mulai fase "kenapa begini, kenapa begitu," sampai si kembar yang kalau satu nangis, yang lain auto ikut-ikutan kayak paduan suara.  

Dalam situasi seperti ini, kalau ada yang bilang, "Coba deh healing biar nggak stress," aku cuma bisa tertawa kecil. Healing ke mana, Bu? Ke Maldives? Ke Makau? ke Azerbaijan? Atau Ke kafe aesthetic sambil minum matcha latte? Wah, konsep yang menarik, tapi realitanya lebih ke healing dalam bentuk menyendiri di kamar mandi lima menit tanpa ada yang gedor-gedor pintu.  

Makanya, aku memilih menulis.  

Menulis adalah satu-satunya bentuk healing yang murah, nggak perlu izin ke suami, dan nggak perlu titip anak ke mertua. Aku bisa melakukannya kapan saja, bahkan di sela-sela masak atau saat anak-anak tidur siang (walau durasinya sering tidak lebih lama dari iklan Spotify premium).  

Menulis Itu Bentuk Curhat Tanpa Di-Judge


Menulis itu seperti curhat ke sahabat yang nggak akan membalas dengan, "Yaelah, lo baper banget sih?" atau "Makanya, jadi ibu tuh harus lebih sabar." Aku bisa menumpahkan semua keluh kesah tanpa takut dihakimi.  

Kalau aku lagi kesal karena suami lupa buang sampah padahal sudah aku ingatkan tiga kali, aku bisa menulis tentang itu. Kalau aku lagi merasa gagal sebagai ibu karena anak pertama lebih hafal karakter di YouTube, aku bisa menuangkannya dalam cerita. Semua rasa lelah, semua unek-unek, semua tumpukan emosi bisa aku ubah jadi tulisan.  

Dan yang ajaibnya, setelah menulis, beban di hati rasanya berkurang. Nggak langsung hilang sih, tapi setidaknya aku bisa bernapas lebih lega.  

Menulis Itu Mesin Waktu yang Menyelamatkan Kewarasan


Salah satu hal terbaik dari menulis adalah bisa membaca ulang apa yang sudah kita tulis di masa lalu. Dulu, aku pernah menulis betapa paniknya aku saat pertama kali jadi ibu, betapa takutnya aku nggak bisa menyusui, betapa stresnya aku menghadapi anak yang GTM (Gerakan Tutup Mulut).  

Sekarang, saat aku baca lagi tulisan-tulisan itu, aku bisa senyum sendiri. Ternyata, aku berhasil melewati semua itu. Ternyata, yang dulu terasa seperti ujian hidup level dewa, sekarang jadi kenangan yang bisa ditertawakan.  

Menulis: Investasi Mental yang Harus Dipelihara
Orang lain mungkin memilih terapi dengan pergi ke psikolog, berlibur ke Bali, atau belanja skincare mahal. Aku? Aku cukup menulis. Bukan karena aku menolak self-care dalam bentuk lain, tapi karena menulis sudah cukup jadi tempat pelarian yang aman.  

Menulis adalah cara paling murah untuk menjaga kewarasan. Ini adalah terapi yang nggak butuh biaya mahal, nggak perlu booking jadwal, dan yang terpenting: bisa dilakukan kapan saja, bahkan di tengah malam saat semua orang tidur.  

Jadi, buat para ibu (dan siapa pun) yang merasa hidup kadang terlalu riweuh, coba deh menulis. Tulis apa saja, di jurnal, di blog, atau sekadar di catatan ponsel. Nggak perlu mikir harus bagus atau estetik, yang penting jujur. Karena di dunia yang sering kali penuh tekanan ini, kita butuh tempat untuk sekadar berkata: Hari ini capek banget, tapi aku tetap bertahan.

Dan percaya deh, kadang kalimat sesederhana itu saja sudah cukup untuk menyembuhkan.

Kenangan yang Tidak Akan Terhapus
Aku masih ingat tulisan pertamaku. Seperti kebanyakan blogger pemula, isinya absurd dan sedikit terlalu bersemangat. Tapi justru di situlah letak keindahannya. Setiap tulisan yang aku buat adalah potongan waktu yang tersimpan rapi. Saat aku membaca ulang tulisan-tulisan lama, aku bisa melihat bagaimana aku tumbuh dan berubah.  

Ada masa di mana aku sering menulis tentang kelelahan menjadi ibu baru, masa ketika aku galau memilih popok kain atau sekali pakai (debat abadi di kalangan ibu-ibu), sampai masa ketika aku mulai menemukan ritme sebagai ibu yang santuy (sebenarnya lebih ke arah pasrah).  

Blog ini juga menyimpan banyak momen manis bersama keluarga. Aku bisa melihat bagaimana anak-anak tumbuh dari sekadar bayi lucu yang cuma bisa menangis, menjadi bocah-bocah aktif yang punya banyak pertanyaan filosofis tentang kehidupan. “Kenapa langit warnanya biru?” “Kenapa dinosaurus punah?” “Kenapa Ibu suka makan sisa makanan anak-anak?”  

Jawaban terakhir itu sulit dijelaskan tanpa mengakui bahwa ibu-ibu memang sering auto-finish makanan anak demi mengurangi pemborosan (dan karena terkadang, ya, memang lapar).  

Lebih dari Sekadar Tulisan, Blogging Itu Terapi Gratis
Menulis di blog bukan cuma tentang berbagi cerita, tapi juga terapi jiwa. Saat hari terasa berat, aku menulis. Saat ada keresahan yang susah diungkapkan ke orang lain, aku menulis. Blogging memberiku ruang untuk jujur tanpa takut dihakimi.  

Kadang aku berpikir, kalau saja blog ini bisa bicara, mungkin dia akan bilang, “Sabar ya, Makvee. Aku sudah dengar semua curhatmu. Tarik napas dulu, nanti juga baik-baik saja.”  

Dan benar saja, setelah menulis, biasanya hati jadi lebih lega.  

Blogging Itu Warisan Digital
Dulu, sebelum ada blog, kenangan hanya bisa diwariskan lewat cerita lisan atau album foto yang sering berakhir di pojokan lemari. Sekarang? Blog menjadi cara baru untuk meninggalkan jejak.  

Aku suka membayangkan, bertahun-tahun dari sekarang, anak-anakku bisa membaca tulisan-tulisanku dan mengenal ibunya lebih dari sekadar sosok yang selalu menyuruh mereka gosok gigi sebelum tidur. Mereka bisa melihat bahwa ibunya juga pernah kebingungan menghadapi dunia, pernah tertawa karena hal-hal remeh, dan pernah menangis karena rasa lelah yang tak tertahan.  

Mungkin suatu hari, mereka akan membaca blog ini sambil tersenyum dan berkata, “Oh, jadi dulu Ibu juga sering overthinking? Kirain cuma kita.”  

Blogging Itu Rumah dan Teman yang Tak Pernah Pergi
Blogging bukan sekadar hobi, tapi bagian dari perjalanan hidupku. Setiap tulisan yang aku buat adalah bagian dari diriku yang akan selalu ada, bahkan ketika waktu terus berjalan.  

Ada satu hal yang aku sadari setelah bertahun-tahun menulis: manusia bisa lupa, tapi tulisan tidak. Aku mungkin akan lupa betapa paniknya aku saat pertama kali menjadi ibu, bagaimana repotnya menyusui bayi sambil menggendong anak yang satu lagi tantrum. Aku mungkin akan lupa bagaimana rasanya terjaga di tengah malam hanya untuk memastikan anak-anak tidur nyenyak, atau momen ketika mereka pertama kali memanggilku "Ibu."  

Tapi blog ini? Ia menyimpan semuanya.  

Setiap kata yang kutulis adalah serpihan kecil dari hidupku yang terdokumentasikan. Setiap cerita yang kubagikan adalah bukti bahwa aku pernah ada, pernah berpikir, pernah tertawa, dan pernah menangis di berbagai fase kehidupan. Blog ini bukan sekadar kumpulan tulisan, tapi warisan digital yang suatu hari nanti mungkin akan dibaca anak-anakku, atau bahkan cucu-cucuku.  

Mungkin di masa depan, ketika dunia sudah jauh berubah, anak-anakku akan menemukan blog ini dan membaca ceritaku. Mereka akan melihat sisi lain dari ibunya bukan hanya sebagai sosok yang selalu menyuruh mereka makan sayur atau mengurangi screen time, tapi sebagai perempuan yang pernah muda, punya mimpi, punya keresahan, dan punya cerita sendiri.  

Mereka mungkin akan tertawa membaca betapa absurdnya perdebatan di kepalaku tentang popok kain vs popok sekali pakai. Mereka mungkin akan terharu saat membaca betapa besar rasa cintaku pada mereka, yang sering kali kusisipkan dalam tulisan-tulisan sederhana.  

Atau bisa jadi, suatu hari, ketika aku sudah terlalu tua untuk mengingat semua ini, blog ini akan menjadi mesin waktu yang membawaku kembali. Membantu aku mengingat siapa diriku, bagaimana aku bertumbuh, dan betapa berwarnanya hidup yang telah aku jalani.  

Akhir Kata: Blog Itu Lebih dari Sekadar Media, Ini Rumah Kedua


Jika media sosial itu seperti kafe ramai tempat kita berbincang singkat, maka blog adalah rumah. Di sini, aku bisa menulis panjang lebar tanpa takut kehilangan perhatian pembaca setelah dua detik pertama. Di sini, aku bisa bercerita dengan lebih leluasa, tanpa algoritma yang menentukan siapa yang bisa melihat tulisanku.  

Blogging bukan sekadar hobi, tapi bagian dari perjalanan hidupku. Setiap tulisan yang aku buat adalah bagian dari diriku yang akan selalu ada, bahkan ketika waktu terus berjalan.  

Jadi, selama aku masih punya kata-kata, selama aku masih ingin berbagi cerita, www.makveestory.com akan selalu menjadi tempat pulang. Tempat di mana aku bisa menumpahkan isi hati, tempat di mana aku bisa kembali dan berkata: Ya, inilah aku. Inilah perjalananku.

2 comments

  1. Aku suka sekali tulisannya-mengalir lembut. Bukan hanya enak dibaca, tapi juga enak dirasa. Dan terima kasih ya sudah menulis ini... aku seperti diingatkan akan apa yang aku lakukan dalam menulis. Betul sekali, menulis-terutama blogging-menjadi sarana terapi pribadiku juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih sudah membaca tulisan setengah curhatan ini salam kenal

      Hapus