Work From Home di Ramadan: Ibu 3 Anak, Deadline, dan Azab Wi-Fi Lemot


Ramadan itu bulan penuh berkah. Katanya, segalanya jadi lebih tenang, lebih sabar, dan lebih produktif. Tapi, siapa pun yang bilang begitu jelas belum pernah menjalani Ramadan sebagai ibu tiga anak yang kerja dari rumah.

Saya ini ibu rumah tangga merangkap blogger dan content creator. Artinya, di bulan puasa, saya harus tetap waras di antara deadline tulisan, anak-anak yang heboh ngabuburit, dan koneksi Wi-Fi yang sering goyah seperti iman saat melihat takjil enak sebelum maghrib.  

Mari saya ceritakan bagaimana Ramadan ini saya jalani dengan penuh semangat, atau lebih tepatnya dengan penuh keajaiban dan sedikit air mata.

Episode 1: Sahur, Ngantuk, dan Inspirasi yang Tidak Muncul
Hari dimulai sejak sahur. Setelah menyiapkan makanan dan membangunkan anak-anak (yang kalau dibangunkan lebih susah dari mengajarkan matematika ke kucing),saya duduk di depan laptop dengan niat mulia: menulis satu artikel sebelum subuh.

Tapi apa yang terjadi?  
Mata mengantuk, otak nge-hang, jari malah ngetik "riaiasgshdhdhdghss" di halaman kosong.

Sementara itu, anak-anak sudah mulai ribut lagi. Si sulung minta tolong cari kaos kaki, si tengah sibuk nyanyi lagu kartun, dan si bungsu… entah kenapa sudah lari-lari sambil pakai sarung di kepala seperti superhero.

Inspirasi? Hilang.  
Kesabaran? Mulai diuji.  
Satu-satunya hal yang bertahan? Deadline yang tetap harus selesai.

Episode 2: Work From Home atau Work From Chaos?
Pagi menjelang, dan saya mulai bekerja serius. Laptop menyala, kopi tanpa gula siap, anak-anak masih anteng (sebentar).

Tapi baru menulis dua paragraf, tiba-tiba terdengar suara:  

IBUUUUUU! KAKAK NGGAK MAU BERBAGI CRAYON!!!

Dalam sekejap, ruang kerja saya berubah menjadi ring tinju. Saya mencoba tetap tenang. Work From Home itu artinya multitasking level dewa. Saya bisa:  
- Mengetik dengan satu tangan  
- Menenangkan anak-anak dengan tangan satunya  
- Menghela napas panjang sambil berkata dalam hati, "Sabar, ini Ramadan."

Setelah drama crayon selesai, saya kembali ke laptop. Kali ini siap menulis dengan fokus. Tapi kemudian
Wi-Fi mati.
Saya menatap layar kosong dengan ekspresi pasrah. Dalam hati, saya merenung, apakah ini ujian dari semesta?

Episode 3: Tetap Semangat, Walau Sinyal (dan Kesabaran) Terkadang Lemah 
Siang hari, saya mencoba mencari solusi. Kalau Wi-Fi mati, ya sudah, saya pakai hotspot.Tapi ternyata, paket data saya hampir habis.

Mau marah? Nggak boleh, ini bulan puasa.
Mau nangis? Percuma, nanti anak-anak malah ikutan heboh.

Akhirnya saya ingat pepatah ibu-ibu: "Tetap tenang, cari celah, dan lanjutkan perjuangan." Saya pun menulis draft di notes HP dulu, sambil menunggu internet kembali.  

Di sela-sela itu, anak-anak mulai tertarik melihat saya ngeblog dan ngonten.  

"Ibu ngapain sih?" Tanya si sulung ingin tahu

Saya tersenyum, "Ibu kerja biar bisa beli jajan buat kita."

Mata mereka langsung berbinar.  

Dan tiba-tiba, mereka berubah jadi asisten pribadi yang sangat suportif.

Si sulung: "Ayo Ibu, semangat! Harus kelar ya tulisannya!"
Si tengah: "Aku bantu edit foto Ibu!"
Si bungsu: "Aku nggak ganggu Ibu dulu tapi mau minta peluk?" Ucapnya sambil mau menangis

Momen ini bikin hati saya meleleh.Oh, ternyata meski Work From Home penuh drama, tetap ada kebahagiaan yang tidak bisa digantikan.  

Episode 4: Akhirnya Posting Konten, Saatnya Buka Puasa!
Setelah perjuangan panjang, akhirnya artikel saya selesai. Blog update, konten untuk media sosial terposting, dan saya merasa seperti pemenang olimpiade.

Sore menjelang, kami mulai ngabuburit. Kali ini bukan dengan drama, tapi dengan momen santai bersama. Anak-anak belajar bahwa kerja keras itu penting, dan saya belajar bahwa sabar itu memang harus dipraktikkan setiap detik.

Ketika adzan maghrib berkumandang, saya menatap segelas es teh di depan saya dan berkata dalam hati:  

"Terima kasih, untuk hari ini telah memberikan kekuatan untuk melewati Work From Home hari ini."

Dan tentu saja, terima kasih juga pada Wi-Fi yang akhirnya kembali normal.

The Next day

Work From Home Penuh Drama: 
Tetap Perjuangan, Tetap Cinta

Setelah hari pertama Work From Home (WFH) di bulan Ramadan penuh drama dan keajaiban sinyal internet, saya pikir hari-hari berikutnya akan lebih mudah.

Saya salah.

Karena yang namanya ibu tiga anak kerja dari rumah, Ramadan atau bukan, tetap seperti masuk ke arena gladiator.
Bedanya, sekarang saya lebih siap. Lebih tahan banting, lebih banyak stok tisu buat nangis diam-diam, dan tentu saja, lebih sering mengingatkan diri sendiri:  
"Sabar, ini bulan puasa. Pahala bertambah, bukan amarah."
Tapi ya… tetap saja, kenyataan kadang tidak semanis takjil kolak pisang.  

Episode 5: Ketika Zoom Meeting Berubah Jadi Konser Anak-Anak
Hari itu saya ada meeting online dengan klien. Meeting penting.
Saya sudah siapkan segalanya. Background rapi, baju formal (walau bawahnya tetap daster), dan tentu saja, saya sudah mengancam anak-anak untuk tenang selama satu jam ke depan.

"Pokoknya jangan ada yang teriak-teriak, ya. Ibu kerja!"

Mereka mengangguk patuh. Saya sempat berpikir, wah, ini bakal berjalan lancar. 
Saya salah. Lagi.
Meeting baru berjalan lima menit, dan tiba-tiba…  
IBUUU! LAGU 'BABY SHARK' ADA VERSI BARUUU!" teriak si bungsu dari ruang tamu.  

Saya masih mencoba tetap profesional. Mikrofon saya mute

Tapi kemudian, si tengah datang dengan wajah panik.  

"Ibu, kucing tetangga masuk ke dapur! Sekarang dia lagi tiduran

Saya ingin menangis. Klien di layar menatap saya dengan senyum canggung, sementara saya mencoba tetap tenang (dan menahan tawa sekaligus stres).

Saya kasih kode ke anak-anak dengan tatapan "SABAR YA INI BULAN PUASA!"  

Tapi ya, sebuah meeting tanpa insiden bocil bukanlah meeting seorang ibu sejati. 

Untungnya, klien saya ternyata juga seorang bapak-bapak yang paham betul bagaimana rasanya kerja dari rumah dengan anak-anak. Dia malah tertawa dan bilang, "Santai, Mbak. Anak saya juga kadang numpang tampil pas saya presentasi."

Baiklah. Misi tetap profesional: Gagal. Tapi misi bertahan hidup? Lulus dengan nilai B-minus. 

Episode 6: Ketika Tulisan Harus Kelar, tapi Anak Minta Dibuatin Istana dari Bantal
Sebagai blogger dan content creator, Ramadan itu high season. Banyak tulisan yang harus saya buat, banyak konten yang harus saya edit.  

Tapi sayangnya, anak-anak tidak peduli deadline.

"ibu, kita mau bikin istana dari bantal. Ibu bantuin ya!" kata si tengah.  


Saya menatap mereka. Di satu sisi, saya harus menyelesaikan artikel yang sudah telat dari tenggat waktu. Tapi di sisi lain, tiga pasang mata kecil itu menatap saya dengan penuh harapan.  

Saya menarik napas panjang.  

"Baiklah, 10 menit aja ya. Abis itu Ibu kerja." 

Mereka bersorak, dan saya pun ikut menyusun bantal-bantal menjadi "istana". Entah kenapa, di dalam hati saya justru merasa lebih rileks.  

Karena ternyata, di antara stres dan deadline, momen-momen kecil seperti ini yang bikin Ramadan di rumah terasa lebih berarti.  

Setelah istana bantal selesai, mereka kembali sibuk bermain, dan saya bisa mengetik dengan tenang  

Episode 7: Tetap Ada Bahagia yang Tidak Bisa Digantikan
Sore itu, saya duduk di depan laptop dengan secangkir teh hangat (yang akhirnya bisa saya minum setelah dingin karena selalu teralihkan).  
Saya menatap anak-anak yang tertawa-tawa sendiri sambil bermain di ruang tamu.  
WFH di bulan Ramadan memang tidak mudah. Penuh tantangan, penuh kejutan, dan seringkali penuh keinginan untuk menyerah dan rebahan tanpa beban.  

Tapi di tengah semua itu, saya sadar satu hal.  

Saya mungkin kelelahan. Saya mungkin merasa tidak cukup produktif. Tapi… saya tetap bersyukur.

Karena di sela-sela kekacauan, ada banyak momen kecil yang berharga.  
Karena meskipun saya harus mengetik sambil menggendong anak, saya tetap bisa berkarya.  
Karena meskipun Wi-Fi sering mati, cinta di rumah ini tidak pernah lemot.

Dan yang terpenting, meskipun hidup ini kadang terasa seperti deadline tanpa akhir…  

Kesimpulan: Ramadan, Work From Home, dan Ibu yang Tak Kenal Menyerah
Work From Home sambil mengurus tiga anak di bulan Ramadan itu ibarat main game dengan level tersulit. Tapi, bukan berarti tidak bisa dijalani.  

Caranya? Sabar, adaptasi, dan sesekali… tertawa.
Karena pada akhirnya, bukan tentang seberapa banyak deadline yang kita kejar, tapi tentang bagaimana kita menikmati setiap momen.  
Dan kalau pun semuanya terasa kacau? ingat, sebentar lagi buka puasa. Semua pasti baik-baik saja!

0 comments